..

Arsitek AS Paling Banyak Nganggur

Tulisan ini dikutip seutuhnya dari situs kampus.okezone.com, bukan bermaksud apa-apa, cuma rada miris membaca hasil penelitian yang dilakukan, bahwa tingkat pengguran tertinggi di Amerika berasal dari lulusan jurusan arsitektur, artinnya arsitek AS banyak yang nganggur. . Baca saja artikelnya:google9c09980c12e5753d.html

WASHINGTON - Laporan sebuah penelitian di Amerika Serikat menyebutkan, arsitektur merupakan jurusan dengan tingkat pengengguran tertinggi di negara tersebut. 

Arsitektur menempati porsi sekira 13,9 persen dalam data tingkat pengangguran. Data ini merupakan hasil penelitian terbaru yang dirilis oleh Pusat Pendidikan dan Tenaga Kerja Georgetown University di Amerika Serikat.

Secara umum, laporan ini menyebutkan bahwa jumlah pengangguran tertinggi adalah lulusan jurusan non-teknik, seperti arts (seni dan arsitektur) sebesar 11,1 persen, serta humaniora dan liberal arts (9,4 persen).

Humaniora mencakup jurusan ilmu sosial seperti komunikasi, hukum, dan sastra. Sementara liberal arts mencakup sejarah, ilmu politik, dan psikologi. Untuk lulusan kesehatan atau pendidikan, tingkat penganggurannya hanya 5,4 persen.

“Jika jurusan Anda terdengar seperti profesi, misalnya jurusan teknik di mana Anda akan menjadi teknisi, maka Anda akan berada dalam bentuk yang baik,” kata Direktur Pusat penelitian, Anthony P Carnevale seperti dikutip dari Chronicle, Kamis (5/1/2012).

Secara umum, para insinyur memang memiliki prospek kerja yang baik, namun khusus untuk lulusan teknik sipil dan mesin, angka penganggurannya tetap tinggi.

Namun laporan ini memperingatkan, tidak selamanya jurusan dengan pengangguran rendah meraup pendapatan dengan jumlah yang tinggi. Disebutkan bahwa jurusan ilmu kesehatan, science, dan bisnis, angka penganggurannya relatif lebih rendah dan pendapatannya tinggi. Tapi untuk lulusan pendidikan, psikologi, dan kerja sosial, walau angka penganggurannya rendah, penghasilannya tidak tinggi.

Survei ini dilakukan kepada mahasiswa perguruan tinggi di Amerika yang lulus pada 2011 dengan rentang usia 22 hingga 26 tahun. Laporan disusun berdasarkan data dari Biro Sensus Amerika, yang fokus pada pendapatan yang dihasilkan jurusan kuliah dan pekerjaan.

Terlepas dari jurusan yang dipilih, Carnevale meyakini, gelar dari perguruan tinggi masih menjadi penentu mendapatkan pekerjaan.

"Secara keseluruhan, tingkat pengangguran untuk pemilik gelar sarjana adalah 8,9 persen. Sementara angka pengangguran lulusan sekolah menengah atas (SMA) sebesar 22,9 persen dan lulusan SMA yang putus sekolah angka penganggurannya sebesar 31,5 persen," ujarnya menandaskan.

Arsitektur Tradisional Banjar

Rumah Baanjung
Rumah tradisional suku Banjar yang disebut Rumah Banjar (Rumah baanjung). Bangunan merupakan salah satu Arsitektur tradisional Indonesia, dan memiliki ciri-cirinya diantaranya memiliki perlambang, penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.

Pada umumnya, rumah tradisional Banjar dibangun beranjung yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, namun demikian beberapa type Rumah Banjar tidak menerapkannya.

Rumah Bubungan Tinggi
Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan) sama halnya dengan joglo di Jawa. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi).

Pada perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Rumah di perkampungan itu dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering. Rumah Banjar terdiri Rumah Banjar masa kesultanan banjar dan Rumah Banjar masa kolonial.

Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi sehingga pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan. 

Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilai magis/sakral. Bagian-bagian rangka tersebut adalah :
  • Susuk dibuat dari bahan kayu Ulin.
  • Gelagar  dibuat dari bahan  kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih.
  • Lantai  dibuat dari bahan  papan Ulin setebal 3 cm.
  • Turus Tawing  dibuat dari bahan  kayu Damar.
  • Watun Barasuk  dibuat dari bahan  balokan Ulin. 
  • Rangka pintu dan jendela  dibuat dari bahan  papan dan balokan Ulin.
  • Bujuran Sampiran dan Gorden dibuat dari balokan Ulin atau Damar Putih. 
  • Balabad  dibuat dari bahan balokan kayu Damar Putih.
  • Titian Tikus dibuat dari balokan kayu Damar Putih.
  • Riing  dibuat dari bahan  bilah-bilah kayu Damar putih.
  • Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan  dibuat dari bahan  balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.
  • Kasau  dibuat dari bahan  balokan Ulin atau Damar Putih.
Bagian lantai biasanya menggunakan adalah papan ulin selebar 10 sampai 20 cm, di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang

Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, kadang-kadang dindingnya menggunakan Palupuh.

Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.

Ornamentasi berupa ukiran, Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Motif ukiran yang diterapkan merupakan pengaruh dari perkembangan peradaban Islam seperti yang digambarkan pada motif flora (daun dan bunga), motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan naga juga distilir dengan motif flora serta moti ukiran bentuk kaligrafi.

Rumah Larik Sebagai Arsitektur Rumah Tradisional Kerinci

Umoh panja/laheik/larik
Rumah tradisional Kerinci, yakni umoh laheik atau umoh panja,yang merupakan salah satu arsitektur tradisional dari Kerinci, kini semakin langka, bahkan bisa dikatakan telah punah dan digantikan oleh rumah-rumah dengan bangunan beton yang permanen. Penyebanya, telah berubahnya pola pikir dan gaya hidup masyarakat menjadi lebih modernis, individualis, dan praktis seperti sekarang, juga karena semakin meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Konsep landscape, Rumah larik dapat dibagi berdasarkan konsep ruang makro, meso, dan mikro. Ruang makro terdiri dari ruang hutan, ruang pertanian, dan ruang pemukiman.

Hutan yang berada di daerah perbukitan dengan kemiringan yang cukup curam tidak diizinkan untuk dimanfaatkan oleh manusia karena berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air bagi pertanian dan pemukiman. 

Ruang pertanian terdiri dari ladang (tanah kering) dan sawah (tanah basah) terdapat di kaki–kaki bukit yang berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam bagi masyarakat dan sebagai lahan cadangan untuk mendirikan pemukiman baru. Sawah atau tanah basah merupakan tanah adat yang berstatus hak milik pribadi sesuai dengan pembagian yang telah diatur oleh Ninik Mamak

Ruang pemukiman berada dalam area yang disebut tanah “parit sudut empat” yang merupakan batas pemukiman tradisional masyarakat adat dengan pemukiman di luarnya. Status tanah dan rumah dalam parit sudut empat ini berstatus hak milik kaum yaitu milik anak batino dan tidak boleh diperjual belikan.

Pola Rumah larik berjejer memanjang dari arah Timur ke Barat sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya hingga membentuk sebuah larik. Rumah Larik Limo Luhah merupakan salah satu kawasan Rumah Larik yang terdapat dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh Sungai Penuh selain kawasan Rumah Larik Pondok Tinggi dan Dusun Baru.
Rumah ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu horisontal (nilai kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak, bagian tengah untuk tempat manusia tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan benda-benda pusaka. Sedangkan sumbu horisontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam rumah yang tidak bersekat dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya, hal ini mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi. Pekarangan rumah pada umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan menjemur hasil pertanian seperti padi. kopi, dan kayu manis.

Umoh laheik, dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.


Konstruksinya tanpa menggunakan fondasi permanen, hanya tumpukan batu alam tempat tiang ditenggerkan, juga tanpa menggunakan paku, hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk. Atapnya pada masa awalnya bukan seng atau genteng seperti masa sekarang, melainkan hanya jalinan ijuk. 

Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup (sejenis kulit kayu) dan lantainya papan yang di-tarah dengan beliung. Material-material itu tidaklah memberatkan rumah.

Umoh laheik ini merupakan tempat tinggal tumbi (keluarga besar), dengan sistem sikat atau sekat-sekat seperti rumah bedeng. Setiap keluarga menempati satu “sikat” yang terdiri dari kamar, ruang depan, ruang belakang, selasar, dan dapur.

Setiap sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni bagian depan dan belakang. Material pintu adalah papan tebal di tarah beliung. Antara sekat sikat terdapat pintu kecil sebagai penghubung.

Jendela yang disebut “singap” sekaligus merupakan ventilasi angin dibuat tidak terlalu lebar, tanpa penutup seperti layaknya rumah modern saat sekarang, hanya dibatasi jeruji berukir. 

Sementara bagian bawah yang disebut “umin” sering hanya sebagai gudang tempat menyimpan perkakas pertanian, seperti imbeh, jangki, dan jala, atau terkadang juga menjadi kandang ternak seperti ayam, bebek, kelinci, kambing, dan domba. Tak jarang juga dibiarkan kosong melompong menjadi arena tempat bermain anak-anak.

Di bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut “parra”. Atap di dekat parra itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang bisa buka-tutup, yang disebut “hintu ahai” atau pintu hari atau pintu matahari. Di situlah keluarga bersangkutan sering menyimpan “sko” (benda-benda pusaka) keluarga

Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut “pelasa”, yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum sebuk kawo dan mengisap rokok lintingan daun enau.

Bagian halaman depan rumah sering dipenuhi oleh tumpukan batu sungai sebagai teras sehingga rumah terkesan tidak berpekarangan. Pekarangan rumah keluarga tersebut sebenarnya berada di halaman belakang yang biasanya sangat luas dan panjang.

Rumah adat Kerinci
Model dan konstruksi arsitektur rumah tradisional Kerinci mencerminkan betapa masyarakat sangat mengutamakan semangat kekerabatan, kebersamaan, dan kegotongroyongan dalam kehidupannya sebagai falsafah pegangan hidup manusia sebagai makhluk sosial.

Arsitektur Tradisional Kerinci

Arsitektur tradisional Kerinci merupakan salah satu identitas dan dapat memberikan gambaran tentang tingkat kehidupan masyarakat kerinci pada waktu itu. Pada arsitektur tradisoinal Kerinci, terkandung secara terpadu wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material dari suatu kebudayaan.

Mesjid Agung Pondok Tinggi
Dalam arsitektur tradisional Kerinci benyak sekali nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya. Salah satu contohnya dapat dilihat pada bentuk arsitektur bangunan Mesjid Agung Pondok Tinggi yang dapat memberikan gambaran, betapa tinggi daya cipta dan kreasi masyarakat Kerinci pada waktu itu. Dengan menggunakan bahan yang terbatas, serta peralatan yang sederhana dapat menghasilkan dan membangun bangunan yang agung dan megah pada zamannya.

Selain pengetahuan mengenai konstruksi bangunan, teknik dan cara pembuatan serta karya seni yang dimiliki masyarakat Kerinci, sifat masyarakat yang bergotong royong merupakan beberapa faktor jyang menunjang masyarakat Kerinci dalam mambengun sebuah Bangunan.

Umoh panja/laheik/larik
Tipe rumah tinggal mayarakat kerinci, salah satu contohnya adalah rumah panjang atau yang disebut juga "umoh panja" atau "umoh larik" atau "umoh laheik", yang merupakan bangunan panjang berbentuk panggung yang terdiri dari beberapa deretan rumah petak yang saling sambung menyambung yang berfungsi sebagai rumah tinggal.

Bangunan ini disebut larik karena susunannya yang berlarik atau berderet-deret. Larik ini dihuni oleh beberapa keluarga yang disebut “tumbi” atau “perut” yang terdiri dari satu keturunan, yang dalam bahasa daerahnya disebut Kalbu. Setiap kalbu dipimpin oleh seorang ninik mamak.

Tipologi rumah panjang atau larik adalah empat persegi panjang dan berbentuk panggung, tidak ada ketentuan khusus mengenai ukurannya karena tergantung dari banyaknya keluarga yang menghuninya. Setiap keluarga atau tumbi mendiami satu petak, yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang belum menikah. Ukuran tiap petak bangunan pada umumnya panjang 5 depa dan lebarnya depa (8 meter x 6 meter)
Pada zaman sekarang, dengan adanya kemajuan teknologi mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya yang terkandung dalam arsitektur tradisional Kerinci, terutama pada bentuk, teknik dan cara pembuatannya, serta bahan-bahan dan elemen-eleman yang digunakan.

Selain pengaruh perkembangan teknologi, pengaruh perkembangan ekonomi juga sangat besar artinya dalam pergeseran nilai-nilai budaya yang terkandung dalam arsitektur tradisional Kerinci. Bukan hanya bentuk, struktur, dan fungsi bangunan yang bergeser, tetapi system kemasyarakatan juga ikut bergeser. System gotong royong yang menjadi kekuatan masyarakat lambat laun juga akan menghilang.

Pada dasarnya arsitektur tradisional kerinci sekarang telah banyak mengalami peruahan, baik dari segi bentuk, struktur da fungsinya. Pengaruh luar tidak dapat dihindari sebagai akibat dari perkembangan dan perubahan lingkungan sekitarnya.