..

Konsep Ruang Arsitektur Jepang


Konsep ruang Jepang pada arsitektur Jepang didesain bersifat fleksibel, tidak ada pemisah ruang yang bersifat permanen. Dinding dipisahkan oleh pemisah ruang transparan untuk menunjukan bahwa tidak ada batasan yang jelas antara desain eksterior dan interior. Jika ada beberapa ruang yang tidak bersifat fleksibel berarti raung tersebut sudah disesuaikan dengan fungsi masing-masing ruang.

Pola Grid digunakan pada perencanaan denah rumah tinggal. Pola ini merupakan komponen utama pada perancangan rumah tinggal Jepang yang saling berhubungan.

Pola Grid dimensi ruang
Ukuran standar per-grid kurang lebih 3 feet x 3 feet (1 Feet/kaki = 27,5 cm) dan dimensi standar ruang :
  • Tatami (1 tikar) = 3 kaki x 6 kaki.
  • Alcove (tokonoma) = 3 kaki sampai 6 kaki.
  • Lemari dinding = 3 kaki x 6 kaki.
  • Bath = 6 kaki x 6 kaki.
  • Toilet = 3 kaki x 4½ atau 6 kaki 9lebar).
  • Teras = 3 , 4 ½ atau 6 kaki (lebar).
  • Koridor = 3 atau 4 ½ kaki (lebar).
  • Fusuma = 3 kaki x 6 kaki.
  • Shoji = 3 kaki x 6 kaki.


Ruang dibuat tidak terlalu tinggi karena kondisi iklim di Jepang (4 musim). Ruang pada rumah tinggal Jepang dibuat dengan ketinggian 7 kaki sampai 8 kaki. Pada ruang minum teh ketinggian ruangan dibuat antara 6 sampai 7 kaki. (1 kaki = 27,5 cm).



hall "Genkan"
Entrance hall "Genkan" yang merupakan salah satu ciri dari arsitektur Jepang dan merupakan kebudayaan Jepang, mempunyai ukuran min 10-15 tsubo ( 33-50 sq.m = 356-534 sq.ft). Dapat dikembangkan 10% dari keseluruhan luas lantai. Lantai terbuat dari beton/batu kerikil yang dicampur semen. Ketinggian entrance hall biasanya 1-2 papan kayu dengan maksud untuk membedakan entrance hall dengan ruang keluarga. Biasanya terdapat tempat penyimpanan sepatu yang diletakkan di samping entrance hall.

Ruang Penerima “Zashiki” dan Ruang Tamu “Kyakuma”, Mempunyai ukuran 8 tikar tatami yang didalamnya terdapat alcove (tokonoma) dan rak-rak ornamen. Pada rumah tinggal yang lebih besar runag penerima berubah fungsi menjadi ruang lain dan keduanya dibatasi oleh fusuma.

Ruang Keluarga “Tsugi-No-Ma” Mempunyai fungsi fleksibel (dapat berubah fungsi menjadi ruang makan pada siang hari, ruang tidur anak-anak, dan ruang tidur orang tua (pada malam hari).


Ruang Makan “Shokudo” dan Ruang Masak “Chanoma” berfungsi sebagai tempat makan seluruh anggota keluarga dan tempat minum teh.

Ruang Minum Teh “Chashitsu” , yang berfungsi untuk melakukan upacara minum teh. Ruang ini merupakan ruangan yang bersifat sakral sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jepang. Ukuran standar ruang minum teh : 4½ tikar tatami  atau ± 3 kaki x 6 kaki (91,44 x 182,82 cm) dengan tinggi ruang 6 kaki. Ukuran pintu ruang minum teh, tinggi 28 inci = 70 cm dan lebar 24 inci = 60 cm, Pintu yang kecil merupakan simbol keseimbangan dan perdamaian.

Untuk Kamar mandi di Jepang, pada umumnya, didesain dan digunakan secara bersama-sama untuk seluruh anggota keluarga.

Filosofi Arsitektur Jepang

A Compass Rose
Menurut kepercayaan Jepang, arah mata angin mempunyai peran yang penting dalam perencanaan bangunan khususnya ruang dalam dengan menggunakan A Compass Rose. Panduan A Compass Rose ini menentukan sisi baik dan sisi buruk dalam penempatan ruang.
  • Pintu masuk diusahakan berada di Selatan disesuaikan dengan A Compass Rose sebagai kebudayaan dan sistem kepercayaan di Jepang.
  • Arah Selatan pada A Compass Rose memiliki filosofi yang artinya adalah “kedatangan” (ri), sehingga letak entrance khususnya pada bangunan umum, bangunan ritual dan banguanan pemerintahan berada pada bagian selatan.
  • Kamar mandi tidak ditempatkan di bagian Timur Laut karena menurut kepercayaan Jepang (kebudayaan) dapat menimbulkan penyakit.
  • Taman dibuat di bagian Timur Laut yang diyakini sebagai penangkal setan dan dapat diyakini membawa keberuntungan bagi anggota keluarga.
  • Perletakan taman tidak boleh berada di arah Barat Daya karena membawa dampak yang buruk yaitu kemiskinan.
  • Ruang minum teh “Chashitsu” pada arsitektur Jepang tradisional berbeda dengan arsiterktur Jepang modern, di sini ruang minum teh letaknya tidak diharuskan pada sisi/ samping bangunan.
  • Perluasan bangunan dapat dilakukan kecuali ke arah Timur Laut karena menurut kepercayaan Jepang apabila perluasan dilakukan pada arah tersebut dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.

Jenis Taman Jepang

Taman dalam bahasa Jepang disebut sebagai “Niwa Sono.” Kata-kata ini merupakan konsep utama taman Jepang yang menciptakan keselarasan antara alam dan keindahan buatan manusia. “Niwa” berarti alam bebas dan “Sono” berarti lahan yang dipagari. Taman Jepang, dari segi desain memang sangat mementingkan kualitas spiritual, estetika dan pengalaman intelektual bagi yang menikmatinya.

Taman memiliki makna yang sangat penting bagi orang Jepang, karena merupakan representasi dari alam sekitar. Dalam perkembangannya taman Jepang dipengaruhi oleh filosofi Shinto, Budha dan Tao. Semua filosofi ini menghadirkan nuansa spiritualitas yang kental dalam taman Jepang. Di jaman dahulu, taman Jepang sering digunakan sebagai tempat untuk bermeditasi.

Di era tahun 90-an, taman Jepang sempat populer dengan hamparan rumput Jepang, bonsai cemara udang dan aksen batu alam. Padahal gaya itu merupakan adopsi dan bukan gaya sesungguhnya dari taman Jepang.
Secara umum, tipe taman Jepang memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, seperti : Taman air/taman danau, Taman alami/taman natural, Taman batu dan pasir, Taman teh, Taman datar.


Taman air/taman danau
Taman ini biasanya memiliki ukuran paling besar dibandingkan tipe lainnya, sehingga sudut pandang menarik (focal point) yang dimilikinya menjadi banyak. Komponen penyusunnya pun paling beragam di antara taman-taman yang lain. Taman ini umumnya memiliki kolam plus aliran air atau air terjun. Biasanya di atas kolam terdapat jembatan yang disebut dengan “Jembatan Bulan.” Patung yang terdapat di taman ini ada dua. Yang pertama berbentuk kura-kura yang melambangkan usia panjang dan yang kedua adalah angsa yang melambangkan kesehatan prima. Taman ini umumnya memiliki warna-warni bunga yang lebih beragam.

Taman alami/taman natural 
Disebut natural, karena taman ini dirancang sedemikian rupa, sehingga burung-burung dan hewan pengerat (kelinci, marmut) bisa tinggal di dalamnya. Taman ini didominasi oleh hijaunya lumut dan nilainya menjadi sempurna bila terdapat kolam atau aliran air yang asli (bukan buatan). Taman jenis ini umumnya memiliki bangunan kecil semacam gazebo yang dinamai “Azumaya”. Konsep taman ini secara keseluruhan adalah menyatu dan menjadi bagian dari alam sekitarnya.

Taman batu dan pasir 
Taman jenis ini berkembang pada era Muromachi dan menggambarkan filosofi Zen. Di masa ini taman umumnya dipakai oleh para pendeta Zen untuk bermeditasi. Taman jenis ini umumnya bersifat tertutup karena dikelilingi oleh dinding dekoratif yang indah. Dan sesuai namanya, komponen utama dari taman ini adalah pasir dan batu.

Bidang-bidang yang dibentuk oleh pasir putih umumnya bersegi teratur dan pasirnya pun tertata dengan rapi. Menurut tradisi jumlah batu yang harus diletakkan di taman ini sebanyak 15 buah yang diatur dalam kelompok dua, tiga, dan lima. Sebagai aksen, pada masing-masing kelompok batu biasanya ditumbuhi lumut.

Pasir memberikan kesan ruang dan kehampaan. Filosofinya adalah, pengujung taman diharapkan membersihkan pikiran yang dipenuhi hal-hal duniawi dan dapat melakukan meditasi dengan baik di dalam taman. Ada juga yang mengatakan bahwa pasir mewakili air (danau atau lautan) dan batu mewakili pulau-pulau Jepang.

Taman teh 
Taman ini berkaitan dengan upacara kebanggan orang Jepang yaitu minum teh. Taman Teh terdiri atas dua bagian, Taman Dalam dan Taman Luar. Selain itu juga terdapat rumah tempat upacara minum teh berlangsung. Semua yang berada di dalam taman ini mulai dari batu, lentera batu dan tempat air memiliki korelasi dan merupakan sebuah kesatuan simbolik.

Taman Dalam adalah taman yang bersifat privat dan hanya dinikmati dari Rumah Teh. Sementara Taman Luar digunakan untuk tempat tunggu bagi tamu. Biasanya Taman Luar dilengkapi dengan tempat duduk yang terbuat dari kayu. Taman ini juga dilengkapi dengan pemanas yang digunakan di musim dingin. Sebagai simbol penyucian diri sebelum memasuki Rumah Teh, disediakan wadah air untuk tempat tamu membasuh diri.

Taman datar 
Taman ini merupakan perpaduan antara Taman Natural dan Taman Pasir Batu. Elemen utama taman ini adalah hamparan pasir putih yang berbentuk melingkar. Bentuk ini menyimbolkan kecerahan dan kegembiraan. Batu-batu yang tersusun di dalamnya juga memiliki makna khusus. Pengunjung taman bisa mengintrepetasikan sesuka mereka bentuk susunan batu yang ada di dalam taman. Komponen penyusun taman ini adalah pasir, tanaman evergreen (biasanya jenis cemara), lumut, tanaman bunga dan rumput.

Tulisan ini diambil dari Tabloit Rumah.Com silahkan kunjungi situs ini bagi yang membutuhkan informasi lainnya. 

Taman Jepang

Taman dalam bahasa Jepang disebut sebagai “Niwa Sono.”  “Niwa” berarti alam bebas dan “Sono” berarti lahan yang dipagari. Kata-kata ini merupakan konsep utama taman Jepang yang menciptakan keselarasan antara alam dan keindahan buatan manusia. Taman Jepang, dari segi desain memang sangat mementingkan kualitas spiritual, estetika dan pengalaman intelektual bagi yang menikmatinya.



Prinsip dasar taman Jepang adalah miniaturisasi dari lanskap atau pemandangan alam empat musim di Jepang. Elemen dasar seperti batu-batu dan kolam dipakai untuk melambangkan lanskap alam berukuran besar.

Taman memiliki makna yang sangat penting bagi orang Jepang, karena merupakan representasi dari alam sekitar. Dalam perkembangannya taman Jepang dipengaruhi oleh filosofi Shinto, Budha dan Tao. Semua filosofi ini menghadirkan nuansa spiritualitas yang kental dalam taman Jepang. Di jaman dahulu, taman Jepang sering digunakan sebagai tempat untuk bermeditasi.

Filosofi Taman Jepang

Taman Jepang di desain menurut arah mata angin adalah sumbu Timur Laut- Barat Daya “ gate of demon “ dan “ gate of man “ merupakan sesuatu yang bertolak belakang sehingga harus diberikan perhatian lebih, seperti kebun pada arah Timur Laut merupakan tempat untuk menangkal setan dan menjamin keberuntungan, sedangkan pada arah Barat Daya tidak memberikan apa-apa kecuali kemiskinan bagi semua anggota keluarga.

Taman memiliki makna yang sangat penting bagi orang Jepang, karena merupakan representasi dari alam sekitar. Dalam perkembangannya taman Jepang dipengaruhi oleh filosofi Shinto, Budha dan Tao. Semua filosofi ini menghadirkan nuansa spiritualitas yang kental dalam taman Jepang. Di jaman dahulu, taman Jepang sering digunakan sebagai tempat untuk bermeditasi.

Tema "Menghadirkan tanaman di antara ruang" banyak dipakai di Jepang. Taman ini disebut Tsubo-niwa. Keberdaannya bisa memberi nuansa luar ruangan dengan masuknya sinar matahari dan udara segar. Tanaman kecil menghiasi bebatuan berkombinasi lentera batu membentuk sebuah pemandangan alami.


Bisa juga ditemukan taman berisi hanya 2-3 pohon contohnya taman kering ( karesansui), yang mengandung filosofi ditampilkan hamparan pasir digambarkan sebagai laut,serta batu dianggap pulau. Selain itu kolam dan batu- batu kecil dijadikan laut dan pulau serta gundukan tanah untuk miniatur gunung.

Elemen Taman Jepang

Walaupun teknologi bertambah maju, lahan berkurang, tapi rumah-rumah modern Jepang selalu menempatkan taman walaupun kecil atau hanya berupa taman kering (karresansui) maupun tanaman – tanaman kecil dalam pot (bonsai) sebagai suatu tradisi dan budaya yang tetap dipertahankan termasuk filosofi-filosofi pada setiap elemen tamannya. 

Tanaman yang digunakan berukuran kecil, pendek dan ramping dan berisikan 2-3 pohon. Ukuran taman Jepang lebih kecil disebabkan oleh perkembangan penduduk sehingga lahan lebih terbatas.

Batuan,air, pasir dan pepohonan merupakan unsur atau materi yang sangat penting dalam taman Jepang. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur tersebut memiliki vilisofis dan karakter yang berlainan. Warna yang alamipun ternyata sangat menentukan (hitamnya batu, putihnya pasir, hijaunya pepohinan dan sebagainya) merupakan sesuatu yang penting dalam membuat komposisi yang baik.

Batuan dalam taman Jepang memiliki karakter atau sifat yang keras dan kokoh. Penyusunan batu pun memiliki aturan, pertama diletakan batu yang paling penting (batuan yang lebih besar), kemudian batu berikutnya (lebih ikecil) , yang memiliki keselarasan . 

Pengaturan batu-batu pijakan dibuat secara artistik dan praktis sehingga para tamu tidak menginjak rumput ketika menuju rumah. Batu yang dikelilingi pasir mencerminkan pulau ditengah lautan. Pasir putih dan bebatuan biasanya digunakan pada taman kering (karresansui)

Konsep Taman Jepang

Fungsi utama taman Jepang adalah untuk memuaskan kebutuhan psikologis manusia akan keindahan dan untuk memperkaya hidup yang menyatakan misteri akan alam. Bagi Jepang kehidupan alam dan seluruh komponen seperti batu, tanaman, dan air memiliki jiwa sama halnya dengan manusia. Masing-masing elemen membutuhkan perhatian dan kehadiran masing-masing elemen sangat penting. 

Desain taman modern menuntut lebih banyak kebebasan dan mereka merubah sebagai hasrat dari desain tradisi Karesansui / taman batu dan kerikil.golongan desainer modern menggunakan retakan pecahan dan batu yang tidak pernah digunakan di tradisional. Tidak hanya abstraksi dan kegunaan material baru, tapi keluasan karakter skala akan tamn Jepang, taman untuk jalan-jalan, taman dengan kolam dan air terjun, dan taman batu dan kerikil masih dibuat sampai sekarang.

Konsep taman Jepang dibuat seperti pulau-pulau dalam kolam harus mencerminkan untaian kabut. Setiap pulau ditampilkan asimetris dan dikelilingi garis-garis yang menggambarkan ombak. Perbatasan antara daratan dan air dibuat dari batu-batu kecil yang mencerminkan pantai berpasir.



Elemen batu dalam taman jepang digolongkan pada dua jenis yaitu Kazarishi yang dihargai keindahannya Sute-ishi yang memiliki sedikit estetika. Dua jenis batu ini harus digunakan agar penampilan taman lebih indah, seimbang serta alami.

Untuk menerangi jalan setapak pada malam hari, dipasang batu lentera batu (toro) . Perancang Jepang cendrung mengarahakan batu-batu secara horizontal.


Taman mempunyai hubungan dengan ruang dalam (interior), sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Shoji

Shoji (arti harfiah: penyekat ruang), Pada arsitektur Jepang, Shoji adalah panel dari rangka kayu berlapis kertas transparan. Kertas pelapis dapat berupa washi atau kertas bercampur serat sintetis. Dalam arsitektur tradisional Jepang, shoji berfungsi sebagai pintu dorong, atau ketika dipasang permanen sebagai jendela atau partisi. Shoji yang dikenal sekarang ini, dulunya disebut akarishoji karena dalam keadaan tertutup, shoji masih tembus cahaya.

Akhir abad ke-12 hingga awal abad ke-13, orang mulai membuat partisi yang hanya ditempel kertas atau sutra pada salah satu sisinya, dan dikenal hingga sekarang sebagai akarishoji. Partisi seperti ini cukup untuk menjaga privasi orang yang berada di dalam dan melindungi ruangan dari pengaruh udara luar.

Shoji membuat ruangan jadi terang karena sinar matahari dapat menembus shoji dan juga dapat menyerap kelembapan dan insulator terhadap panas dan dingin.

Bila kertas pelapis rusak, kertas lama bisa dilepas dan diganti dengan kertas baru. Ketika tidak diperlukan, shoji bisa dilepas dengan mudah karena ringan. Luas ruangan yang disekat dengan shoji bisa diubah-ubah sesuai keperluan. 

Jika shoji difungsi sebagai pintu dorong, shoji dipasang di antara rel kayu; rel bagian atas disebut kamoi dan rel bagian bawah disebut shikii. 

Saat ini pemakaian shoji mulai berkurang, hal ini karena adanya kaca dan tirai, terutama setelah dibuat shoji yang memakai kaca. 

Berdasarkan fungsinya, shoji juga diberi nama seperti: yukimi shoji yang sebagian dibuat dari kaca agar untuk melihat keadaan salju di luar.

Fasade (Dinding) Arsitektur Jepang

FILOSOFI :
Fasade atau wajah pada arsitektur Jepang, tampak depan bangunan merupakan media perantara antara ruang luar dan ruang dalam yang membentuk karakter tertentu , selain itu juga merupakan wujud dari hubungan antara kesan visual luar bangunan dengan fungsi bangunan tersebut. Dinding merupakan wujud dari hubungan antara kesan visual luar bangunan dengan fungsi bangunan tersebut .Dinding merupakan wujud bidang dalam penampilannya dapat berbentuk horisontal maupun vertikal dan biasanya dinding bersifat fleksibel yang mudah dapat dipindahkan. 

KONSEP : 
Dinding pada arsitektur Jepang terbuat dari material yang berasal dari alam seperti kayu dan kertas shoji Supaya lebih menarik biasanya diberi tekstur, warna maupun ornamen atau detail tertentu.


  • Mulai berkembangnya material selain kayu dan kertas shoji, seperti dipakainya material kaca, Corrugated steel, kramik dll.
  • Prinsip desain material yang dipakai sesuai dengan iklim empat musimnya dan bersifat ringan dengan konsep simplicity yang masih dipertahankan.
  • Mulai dipakainya dinding dengan meterial yang lebih kokoh ( sebagai aspek keamanan). Seperti dinding bata yang diplester.

Bentuk Atap Arsitektur Japang

FILOSOFI:
Arsitektur Jepang kuno menggunakan atap jerami dan ranting-ranting pohon. Pada abad pertengahan, Jepang menggunakan atap kayu, hinoki ( cypress ) dan sugi (cedar ). Bentuk-bentuk atap ini banyak digunakan pada bangunan pertanian, kuil dan bangunan-bangunan suci.Atap genteng dalam bentuk maru garawa memasuki Jepang bersamaan dengan kebudayaan Budha dari Cina pada awal abad ke 6, tapi diperlukan waktu lebih dari satu milenium untuk menggunakan atap pada bangunan rumah tinggal.

KONSEP :
- Terdapat tipe atap Jepang yaitu:
  a. Kirizuma / Gabled roof / Atap pelana

  b. Yosemunu /hipped roof / Atap perisai

  c. Iramoya /Atap gabungan antara pelana dan perisai

  d. Koshiore-kirizuma / Mansard dan atap Kabuto-zukiri / Helmet

- Bentuk atap tradisional masih dipakai ( atap Perisai , Pelana dan gabungan dari Perisai dan Pelana ) dengan material yang lebih bervariasi
Sudut atap lebih rendah lebih rendah ±300

Berkembangnya bentuk atap yang dipengaruhi oleh arsitektur Barat, seperti adanya atap mansard ( Konshiore-krizuma), atap lengkung, dll


Desain Eksterior Jepang Periode Meiji (1687-1911) dan Periode Taisho (1912-1926)


Pada periode ini perkembangan desain eksterior jepang telah banyak dipengaruhi oleh  budaya barat, yang pada dasarnya menjadi suatu kebudayaan masyarakat Jepang yang sampai saat ini semakin berkembang.


Pengaruh dari western style (arsitektur barat) di antaranya renaissance, gothic dan romanesque masuk ke Jepang. Style-style tersebut banyak dikembangkan untuk bangunan-bangunan universitas, museum, peribadatan, dan kantor.

Pengaruh dari style-style peninggalan periode Meiji dan Taisho sampai saat ini masih dapat dilihat di Kota-Kota besar di Jepang sebagai warisan budaya masa lalu. Dipertahankan sebagai bagian dari bangunan cagar budaya mereka. Bahkan para arsitek Jepang yang menghasilkan karyanya pada waktu itu hampir kesemuanya menggunakan style-style tersebut sebagai bagain dari desain bangunannya.

Desain Eksterior Jepang Periode Momoyama (1574-1614)


Pada Periode  Momoyama (1574-1614), gaya yang berkembang pada periode ini masih bertahan pada zenshuyou/karayou, sedangkan pada bagian lain adalah Zen painting (seni lukis) nampak berkembang sangat pesat. Pada bagian lain dari periode ini yang juga berkembang pesat adalah bangunan castle, perkembangannya hampir terdapat di seluruh Kota yang ada di Jepang. 

Sebagian dari bangunan castle tersebut sampai saat ini masih bertahan dan dilestarikan sebagai cagar budaya. Ada beberapa bangunan yang sudah mengalami perubahan baik dengan cara restorasi maupun rekonstruksi, dan bahkan

menggunakan teknologi modern, karena dengan kondisi bangunan yang ada sekarang sudah tidak mungkin lagi untuk dipertahankan sesuai dengan struktur dan konstruksi aslinya.

Desain Eksterior Jepang Periode Edo (1574-1868)



Desain eksterior Jepang pada Periode Edo pada dasarnya sudah mengalami banyak perubahan yang sifatnya lebih modern dibandingkan dengan periode yang sebelumnya. Pada periode ini terlihat adanya penekanan pada detail bangunan, ukiran, dan warna. 


Rumah di perkotaan (Machiya) berkembang pesat hampir di semua kota, menjadi awal peradaban hunian kota yang sebagian besar masih bertahan sampai saat ini di Jepang. Akhir periode ini menjadi awal dari pelestarian cagar budaya bagi bangunan-bangunan yang di bangun periode sebelum sampai akhir periode Edo.

Desain Eksterior Jepang Periode Kamakura (1186-1333)


Desain eksterior Jepang pada Periode Kamakura dan Muromachi pada dasarnya merupakan perkembangan gabungan antara periode Nara dan periode Heian, dimana penutup atapnya sudah menggunakan genteng dengan konstruksi yang lebih berkembang dari periode sebelumnya.



Pada periode Kamakura ini, style yang berkembang hanya ada dua, yaitu :

zenshuyou dan daibutsuyou (great Buddha style)/tenjikuyou (Hindu style). Sedangkan untuk daibutsuyou muncul pertama kali saat Chogen melakukan restorasi bangunan Nandaimon, yaitu pintu gerbang, yang terdapat di bagian selatan dari kuil Toudai-ji di Kota Nara.


Desain Eksterior Jepang Periode Heian (794-1185)

Perumahan periode Heian
Perkembangan desai eksterior pada Periode Heian merupakan perkembangan dari periode Nara. Pada periode ini desain eksterior Jepang yang muncul cenderung bersifat megah dengan banyaknya ukiran-ukiran pada bagian fasade bangunan, terutama pada detail tritisan atap.


Pada periode ini perkembangan dari style untuk kuil-kuil Budha, masih bertahan dengan wayou (Japanese style).

Bangunan-bangunan kuil dengan pola perletakan kompleks kuilnya menjadi ciri khas pada periode tersebut. Demikian juga dengan lukisan-lukisan dengan konsep mandalanya berkembang dengan pesat, dan menjadi ciri dari periode tersebut.

Desain Eksterior Jepang Periode Nara (552-794)

 
Perumahan periode Nara
Desain eksteriornya sangat sederhana, konstruksi maupun material yang dipakai bersifat tradisional, seperti penutup atap menggunakan jerami dan konstruksi atap tali yang terbuat dari anyaman akar pohon. 


Kolom menggunakan material dari batang pohon yang masih utuh, diameter disesuaikan dengan kebutuhan dan finishingnya tidak menggunakan cat agar terlihat lebih alami. Sedangkan dinding menggunakan bahan dari kertas shoji.

Perkembangan Desain Eksterior Arsitektur Jepang


Kepulauan Jepang mulai dihuni pada periode Paleolithic, ada juga yang menyebutkan mulai dari periode Neolithic, kurang lebih 10.000 SM dan merupakan kebudayaan barang pecah belah dari tanah liat pertama di dunia. 

Pada awal periode Neolithic, daerah/lahan muncul di daratan-daratan yang rata. Pada pertengahan periode Neolithic, desa-desa terdiri dari ‘pit dwellings’ dengan tiang-tiang penyangga atap yang terbuat dari ranting-ranting, kemudian berkembang, dan masyarakatnya bermata pencaharian berburu. 

Pit Dwellings


Kepulauan Jepang, merupakan sebuah negara kepulauan dengan yang memiliki rangkaian gunung yang curam, di mana aktivitas geologinya masih berlanjut. Daratan-daratan mengakumulasikan longsoran gunung yang dibawa menuju lembah melalui sungai yang mengalir. 


Suhu pada tahun 5000 SM kurang lebih 40 lebih hangat dibandingkan sekarang. Permukaan laut menjadi lebih tinggi beberapa meter yang menyebabkan air laut mengganggu daerah pedalaman serta mengakibatkan suhu dan garis pantai mendadak turun, minyak ter-akumulasi, dan daratan fluvial terbentuk. 

Pertanian mulai muncul pada abad ke-3 dan pada saat itu bangunan dengan lantai pertama mulai dibuat, rumah beratap mulai berdiri. Orang-orang mulai melanjutkan pengembangan pit dwelling dengan lay-out berbentuk kotak dengan 4 tiang di sudut-sudut yang kemudian menjadi standar bangunan di seluruh Jepang. Terdapat beberapa perbedaan bentuk desain eksterior arsitektur Jepang pada tiap periodenya, yaitu :

Arsitektur Jepang


Jepang dengan segala kemajuan yang dicapainya tetap memberikan penghormatan terhadap leluhurnya. Hal ini tercermin dari beberapa arsitektur Jepang yang bisa selaras serta berdampingan dengan kemajuan yang dicapai.


Iklim empat musim dan kondisi geografis Jepang yang terbatas menjadi dasar terciptanya bangunan yang tahan cuaca, gempa, dan multiguna. Arsitektur Jepang senantiasa terus mengeksploitasi pembaharuan yang berpacu dengan teknologi, tekanan alam, dan kondisi geografis, namun secara bijaksana mampu berdampingan dan selaras dengan tradisi.