Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi (hal tertentu atau causa yang halal), maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void), sedangkan apabila syarat subjektif terpenuhi (tidak cakap atau memberikan perizinannya secara tidak bebas), maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (canceling).
Jadi ada perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan. Oleh sebab itu, sebelum membuat perjanjian/perikatan sebaiknya tahu dulu syarat sahnya suatu perjanjian.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu, perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Hal yang demikian dapat segera diketahui oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, perjanjian yang demikian itu tidak
boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga dapat segera diketahui hakim sehingga dari sudut keamanan dan ketertiban,perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subjektifnya yang menyangkut kepentingan seseorang , yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya, misalnya seorang yang oleh UU dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau seseorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Adanya kekurangan mengenai syarat subjektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat-syarat subjektif, UU menyerahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak, sehingga perjanjian yang demikian bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian, ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu :
- Paksaan
- Kekhilafan
- Penipuan.
Yang dimaksud dengan paksaan, adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychics), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Kekhilafan
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Contoh kekhilafan mengenai barang, misalnya, seseorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit harus sedemikian rupa sehingga pihak lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berada dalam kekhilafan.
Penipuan
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Menurut yurisprudensinya, tak cukup kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh UU diberi perlindungan itu (pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakat). Meminta pembatalan itu oleh pasal 1454 KUHPer dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun, yang mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kekhilafanatau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.
Ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian:
- Pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim upaya perjanjian itu dibatalkan.
- Menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut, kemudian mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, atau karena diancam, ditipu atau khilaf mengenai objek perjanjian. Di depan sidang pengadilan itu ia memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.
No comments:
Post a Comment